Inilah Cara Bung Karno Lindungi Pengusaha Pribumi Dari Cina
![]() |
Soekarno |
Headlineislam.com – Rezim Jokowi-JK saat ini terus-menerus
menggaungkan Nawacita, yang dikatakan sebagai pengejawantahan ajaran
Trisaktinya Bung Karno. Namun pada kenyataannya, fakat di lapangan, kaum
pribumi, anak asli bumiputera, disingkirkan terus-menerus hingga menjadi kaum
marjinal. Aseng dan Asing kembali menjadi tuan di negeri ini, dan bangsa
pribumi Indonesia kembali terjajah. Para pejabat telah menjadi antek-antek
Asing dan Aseng yang bisa hidup makmur sejahtera dengan menjual negerinya
sendiri yang telah diperjuangkan dengan tetesan darah dan keringat jutaan nenek
moyangnya. Inilah Indonesia sekarang!
Sekadar mengembalikan ingatan, di bawah ini kami
cantumkan
kembali artikel dari situs www.nu.or.id tentang upaya Bung Karno
melindungi usaha kaum pribumi dari Asing dan Aseng. Berikut artikelnya:
![]() |
Drs. H. Rachmat Mulyomiseno, tokoh NU yang diangkat Presiden Soekarno menjadi Menteri Perdagangan dengan tugas melindungi usaha kaum pribumi dari Aseng dan Asing
|
Aktor yang ditampilkan Bung Karno
dalam menggerakkan kebijakan yang nasionalistis dan populis itu adalah tokoh
dari Partai NU yang dikukuhkan sebagai Menteri Perdagangan yaitu Drs. H. Rachmat Mulyomiseno.
Dikeluarkanlah peraturan pemerintah (PP) No.10 tahun 1959. Dengan penuh
antusias, Rahmat menjalankan Peraturan pemerintah tersebut melarang warga
negara asing (Cina, Keling, Arab, Jepang, dll.) untuk menetap di desa-desa dan
kecamatan-kecamatan. Mereka hanya dibolehkan bertempat tinggal di ibukota
kabupaten. Dengan cara ini para warga negara asing (WNA) hanya boleh berusaha
di kota kabupaten, sementara desa dan kecamatan terbebas dari mereka. Peraturan
tersebut jelas diterapkan untuk melindungi usaha pribumi. Kalau pengusaha Timur
Asing yang selama ini mendapat hak istimewa dari Belanda dibiarkan, akan
melindas usaha pribumi, karena mereka kuat dari segi modal, fasilitas, dan
jaringan.
Proteksi tersebut sangat efektif,
terbukti sejak saat itu kegiatan usaha di pedesaan dan kecamatan menggeliat
maju, meskipun pada awalnya terdapat kesenjangan karena ditinggalkan para Cina
baru yang berdatangan deras masuk wilayah Republik Indonesia baik yang legal
maupun menyelundup. Kebijakan ini menyebabkan kegiatan sosial budaya asing,
terutama budaya Cina otomatis terhenti, seperti tontonan kesenian Liong,
Barongsay dan lain-lain yang diadakan tiap peringatan tahun baru Cina, Cap Go
Meh, Ceng Beng dan lain-lain.
Pada masa orde baru larangan
semakin menguat sehingga nuansa kecinaan semakin sirna. Barulah pada era
reformasi sekarang, semuanya kembali ke titik awal, seperti sebelum lahirnya PP
10/1959.
Latar Belakang Keluarga
Rachmat Mulyomiseno dilahirkan di
Temanggung, Jawa Tengah, pada 9 Juni 1919. Walaupun lahir di lingkungan santri,
orang tuanya sangat terbuka, sehingga menyekolahkan anaknya di sekolah Belanda
yaitu AMS bagian B, di Yogyakarta. Kemudian melanjutkan Corps Opleiding Reserve
Officeren (CORO) di Bandung Jawa Barat. Selama setahun ia mengikuti kursus
perbankan di Syomin Ginko, dahulu bernama AVB dan sekarang menjadi Bank Rakyat
Indonesia. Sejak saat itu minatnya di bidang moneter menjadi sangat kuat.
Ketekunannya itu yang membuat NU selalu mempercayakan bidang ekonomi dan
keuangan kepadanya, sampai akhirnya oleh Bung Karno dipilih sebagai Menteri
Perdagangan.
Beristerikan Ny Soetariyah,
Rachmat Mulyomiseno dikaruniai delapan orang putera-puteri dengan puluhan cucu.
Sejak tahun 1971 ia menjadi anggota DPR/MPR hingga tahun 1987, mewakili Partai
NU dan kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pribadi yang sederhana dan
suka memberikan nasihat kepada para anak muda ini berpulang ke rahmatullah pada
tahun 1984 di Jakarta. Meninggalkan sejumlah kenangan dan satu yang monumental
adalah PP No.10/1959.
Masa Perjuangan
Revolusi mengerakkan seluruh
masyarakat untuk bergerak, tak terkecuali pemuda Rahmat Mulyomiseno terlibat
dalam revolusi perjuangan bersenjata 1945. Tidak lama setelah Proklamasi
Kemerdekaan pemrintah RI hijrah ke Yogya, saat itu Rachmat bergabung ke dalam
organisasi POPDA di Solo. Saat terjadi penculikan Syahrir di Solo, oleh sayap
militer pimpinan Mayor AK Yusuf, Rachmat bersama Letjen TNI S Parman
mempertahankan gedung POPDA bersama barisan pemuda lainnya.
Untuk memperkuat persenjataan pasukan
pejuang RI, Rachmat Mulyomiseno turut menyelundupkan senjata dan transmitter
(alat penerima gelombang radio) dari Philipina bersama Mayor Udara Suharnoko
dan Mayor Nurtanio. Penyelundupan dilakukan dengan pesawat amphibi. Ia juga
bergabung dalam Sandi (Direktorat Sandi Negara) sejak tahun 1946, hingga
saat-saat sebelum Agresi Belanda I. Sebuah peristiwa bersejarah yang tidak bisa
ia lupakan oleh Rachmat Mulyomiseno, sebagai soerang ahli ekonomi dan keuangan
adalah ia orang yang pertama kali membawa Uang RI atau Oeang RI (ORI) dengan
kereta api dari Solo ke Jakarta. Tidak disebutkan berapa banyak uang yang
dibawanya itu.
Tokoh Perbankan
Rachmat Mulyomiseno sesungguhnya
adalah orang Bank. Dengan latar belakang pendidikan yang disebutkan di atas, ia
lama malang melintang di dunia perbankan, tanpa meninggalkan semangat
kejuangannya bagi kemerdekaan Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia menjadi bendahara Serikat Buruh Bank
Rakyat Indonesia. Tiga tahun kemudian ia diperbantukan pada Angkatan Darat/Departemen
Pertahanan. Kemudian kembali lagi ke dunia perbankan, dengan menjadi Ketua
Perhimpunan Bank-Bank Swasta Nasional sejak tahun 1952-1957. Bersamaan dengan
ini menjadi Wakil Ketua Dewan Ekonomi Pusat, yang kemudian mangantarkannya
menjadi Menteri Perdagangan.
Rachmat juga menjadi anggota Badan
Musyawarah Nasional (Bamunas) sejak tahun 1952 hingga tahun 1956. Ketika NU
menjadi partai politik tersendiri pada tahun 1952, ia tertarik dengan gagasan
yang nasionalis dan populis dari partai itu, maka beberapa saat kemudian yakni
pada tahun 1953 ia secara resmi bergabung dalam Partai Nahdlatul Ulama, yang
kemudian dipercaya memimpin Himpunan Pengusaha Muslimin Indonesia (HPMI) sejak
didirikan hingga akhir hayatnya.
Dengan prestasinya di bidang
ekonomi dan perbankan itu Partai NU mengusulkan dia sebagai Menteri Perdagangan
pada Bung Karno. Sebagai Partai besar NU selalu mendapat jatah kabinet yang
memadai, karena itu usulan tersebut diterima dengan baik oleh Presiden. Apalagi
yang diusulkan bukan orang biasa, tetapi mumpuni dalam bidangnya. Sebagai
seorang profesional di bidang ekonomi dan keuangan, dengan cara kerja yang
correct, maka ia dapat menyelesaikan tugas sebagai menteri dengan baik, Rachmat
kembali ke habitatnya sambil terus melaksanakan tugas politiknya di DPRGR/MPRS.
Tampaknya ia seorang yang yang
giat belajar, terbukti selesai menjadi Menteri Perdagangan Rachmat masih
memperdalam ilmunya dengan melanjutkan kuliah di Universitas Krinadwipayana
Jakarta dan lulus sebagai Sarjana Ekonomi dalam ilmu manajemen perusahaan pada
tahun 1967. Dengan keahliannnya itu tahun 1968 ia menjadi wakil ketua
Konferensi Kamar-Kamar Niaga dan Industri (KKNI) di Jakarta, yang merupakan
salah satu sayap Kadin-Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Selama menjadi anggota DPR selalu
dipercaya dan terpilih menjadi Ketua Komisi VII (ketika itu) yang membidangi
masalah keuangan dan angaran. Dengan demikian selalu bermitra kerja dengan
departemen keuangan dan perbankan. Ia kerap mengeluarkan pernyataan kritik yang
tajam bagi dunia perbankan, sekaligus memberikan saran jalan keluarnya. Ini
sebagai upaya untuk menjaga kemandirian perekonomian Indonesia, sesuai dengan
jiwanya yang nasionalis-populis.
Walaupun sebagai seorang ekonom,
tetapi pandangannya tidak pragmatis, maklum veteran pejuang 1945, karena itu ia
giat mempelopori dilakukannya hak angket DPR untuk membongkar kasus korupsi di
Pertamina. Sayangnya usul ini ditolak oleh rekan separtai dari unsur Muslimin
Indonesia (MI) kelompik eks Masyumi. Demikian juga militansinya untuk membela
keadilan juga ia lakukan, bersama Nuddin Lubbis dan 15 unsur NU yang lain
Rachmat Mutyomiseno yang ikut membela dan memperjuangkan nasib Petisi 50 yang
ditindas. Dalam hal ini NU didukung oleh dua orang anggota PDI. Lagi-lagi MI
mengecam sebagai unsur kecil lari dari perjuangan, malah berbaris bersama
Golkar merepresi kekuatan kritis dalam masyarakat.
Pengalaman paling tragis yang dialaminya adalah ketika
Kelompok MI (eks Masjumi) berusaaha mengincar posisi ketua Ketua Komisi VII
yang dipegang oleh NU yang diketuai Rachmat Mulyomiseno. Pantas komisi ini
diincar MI karena membidangi masalah Perdagangan, Keuangan dan Bank Sentral.
Untuk menjaga hubungan persahabatan dengan berat hati NU melepas ketua komisi
VII kepada MI dengan kesepakatan, segera dikembalikan setahun kemudian. Namun dalam persidangan tahun berikutnya
(1979) MI mengkhianati perjanjian, tidak mau dilakukan rotasi jabatan, jabatan
itu dipegang terus oleh MI.
Pengkhianatan itu membuat retak
Hubungan NU dengan MI. Ditambah lagi sikap Naro dengan MI yang otoriter, dengan
dukungan pemerintah, menggusur tokoh NU dari partai yang dibangunnya sendiri.
Ini merupakan upaya orde baru menghancuran PPP dari dalam melalui Naro dan
kawan-kawan. Rachmat menerima persekongkolan itu dengan tabah hati.
Walaupun Rachmat terdepak dari
posisi politisnya di DPR, namun semua kalangan finansial senior mengakui bahwa Rachmat
sebagai ahli perbankan piawi dan memiliki akses yang kuat dengan jaringan
bank-banak Negara yang ada. Ia kerap berdiskusi dengan dengan pakar ekonomi
keuangan Prof Sumitro bahkan dengan ayahnya Margono Djojohadikusumo. Karena itu
nama tokoh NU ini tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kelahiran perbankan
nasional, khususnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Nasional Indonesia (BNI).
Dalam kapasitas sebagai Ketua
Komisi VII DPR, jika melaksanakan kunjungan ke berbagai daerah. Sebagai seorang
veteran pejuang dan aktivis partai Rachmat Mulyo senantiasa “ditembak” untuk
memberikan ceramah tentang perbankan dan situasi keuangan yang aktual. Maklum
saja, para pemimpin bank Negara di daerah adalah kader-kadernya yang sudah berfungsi
sebagai penerus.
Sebagai seorang pejuang bagi
bangsa dan rakyatnya Rahmat tidak pernah surut dari semangat itu, karena itu
selama masa Orde Baru ketika menjadi DPR-RI dari Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), ia mewakili unsur NU, suara kritisnya terus jalan, terutama melakukan
kritik terhadap Orde Baru yang secara besar-besaran memasukkan modal asing
tanpa memperhatikan kekuatan rakyat Indonesia. Karena sikap kritisnya itulah
kemudian dia turut diboldoser orde baru bersama tokoh
oposisi dari unsur NU lainnya. Sebagai seorang pejuang, hal itu dianggap resiko
perjuangan yang ia lakukan dengan ikhlas demi kepentingan negara dan rakyat.
(Arham/nu.or.id/Headlineislam.com)